Jangan Mengeluh di Sosmed

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri mengajak masyarakat dan warganet untuk optimis menatap masa depan bangsa. Pasalnya, data terakhir, angka pengangguran dan kemiskinan cenderung menurun.

"Pertumbuhan ekonomi terbaru, semester 1 yakni 5,01 persen. Saya pantau sosial media isinya hanya caci maki mengeluh. Prancis saja hanya 0,3 persen. Kita masih bisa 5,01 persen," kata Hanif dalam Kuliah Umum di Sekolah Pimpinan Tinggi Polri (Sespimti) Polri di Lembang, Bandung, Selasa (8/8).

Hanif menambahkan begitu pula dengan angka kemiskinan turun dari 11,13 persen menjadi 10an persen. Hanif mengakui data Badan Pusat Statistik (BPS) ada kenaikan angka kemiskinan nol sekian karena ada kesalahan teknis dalam penggelontoran beras sejahtera (rastra).

"Angka pengangguran tersisa 5,3 persen, terendah setelah masa reformasi. Karena itu saya ajak lihat Indonesia penuh dngan optimisme dan harapan. Kalau di sosmed kan isinya kegalauan nasional, seolah Indonesia buruk sekali," katanya.

Hanif menjelaskan angka gini ratio atau ketimpangan juga menurun dari tahun ke tahun. Kini angka gini ratio yakni 0,39.

Meskipun demikian, Hanif mengakui masih banyak hal yang harus diperbaiki dari segi kondisi angkatan kerja. Berdasarkan tingkat pendidikan, angkatan kerja tahun 2016 sebanyak 59 persen adalah masih dodominasi lulusan SD dan SMP. Data terbaru bahkan jumlahnya sebanyak 60,2 persen lulusan SD SMP. Jumlah angkatan kerja yaknk 131 juta.

"SMK hanya 28 persen. Diploma cuma sekian. Kecenderungan dari jumlah angkatan kerja kita belum bergeser. SDM dan konfigurasi pendidikannya masih menjadi tantangan," jelasnya.

Begitu juga soal kondisi kebutuhan pasar tenaga kerja dan kualitas SDM. Hanif membandingkan dengan Tiongkok dengan penduduk berjumlah 1,4 miliar dan penduduk Indonesia hanya seperlima dari Tiongkok. Namun Tiongkok lebih mengutamakan pelatihan dan pendidikan vokasional agar memiliki daya saing.

"Indonesia perguruan tingginya 4 ribuan, jauh jika dibanding Tiongkok dengan penduduk miliaran tapi hanya ribuan perguruan tinggi. Namun lulusan vokasinya di Tiongkok ada 25 juta penduduk, sedangkan di Indonesia hanya 300 ribu. Sehingga persoalan mix and match dengan kebutuhan pasar tenaga kerja bisa terpenuhi," tandas Hanif.
(ika/JPC) - JawaPos.com -